UPAH
Apakah upah identik
dengan kesejahteraan? Perdebatan tentang hal itu bisa meluas ke segala penjuru.
Yang pasti, tuntuntan kaum buruh, dari tahun ke tahun, memang belum pernah
beranjak jauh dari kata ‘kenaikan’.
Tahun ini, mungkin
memang tahun yang spektakular berkaitan dengan kenaikan upah. Tak kurang dari
25 provinsi dan kabupaten/kota sepakat mendongkrak upah minum rata-rata 30%.
Bahkan ada yang hingga 50%. Jakarta, misalnya, meningkatnya hingga 44%,
sehingga upah minimum di ibukota menjadi R.2,2 juta.
Kenaikan yang lumayan
drastis kali ini, tentu saja mulai meresahkan sejumlah penanam modal meski sungguh
membuat serikat-serikat pekerja bersemangat, termasuk bersemangat turun ke
jalan guna menuntut yang ‘lebih, dan lebih lagi’. Namun, sejatinya, tidak kurang
dari 90% tenaga kerja di Indonesia adalah pekerja informal atau pekerja industri
‘kecil sekali’ alias ‘mikro’ dan tak terbagung dalam serikat pekerja manapun.
Ironisnya, justru
mereka ini yang sering kali terlupakan oleh data resmi dan, dengan sendirinya
oleh berbagai program peningkatan kesejahteraan pemerintah.
Seiring berjalannya
waktu, kebijakan sektor perburuhan yang ada mungkin saja tidak lagi mampu
merekam keresahan sosial mendatang. Kesenjangan pendapatan, misalnya, telah
melebar di tingkat yang kabarnya paling cepat sejagad.
Indonesia, Jakarta
khususnya, memang tengah menikmati pertumbuhan ekonomi amat mengesankan-bahkan
konon termasuk yang paling mengesankan di seluruh Asia -- sehingga beberapa
masalah mendarar, setidaknya untuk sementara, agak terlupakan.
Bagaimanapun, kecuali
ada upaya yang sungguh-sungguh untuk mengurangi laju pelebaran kesenjangan ini
secara seksama, di masa mendatang bisa jadi yagn ramairamai turun ke jalan
adalah kelompok yang 90% tadi.
Sejatinya, memang
teramat tbertumpuk pekerjaan rumah yang mesti diselesikan di Negara ini. Tetapi
ini mungkin memang tahapan y ang harus dilalui banayk ngara – termasuk konon
Jepang yang sekarang ada dalam katerogir Negara industry maj – bekaitan dengan
relasi buruh-majikan. Dengan dmeikian mungkin kurang adil untuk hanya
menyalahkan pemerintah sejamata karena setidaknya Presdian Susili Bambang
Yudhoyono juga telah berencana menerbitakan Peraturan Pmeirntah (PP) tentan
Sistem Pengusahan Nasional.
Benar bahwa PP itu –
setikdanya di tahap awal – hanya akan menyentuh mereka yang bekerja dei sector
formal. Namun, setidaknya arah yang dituj sudah benar. Dalam PP itu
produktivitas buruh akan dimasukan sebagai salah satu basis penghitungan upah
minumn di luar komponen kebutuhan hidup layak (KHL).
Faktor produktivitas
dalam sistem penghitungan upah minimum merupakan langkah maju yang bukan hanya
akan memberikan rasa adil bagi buruh, tapi juga bagi pengusaha. Komponen
produktivitas akan menjadi garis yang jelas untuk memilah mana hak serta
kewajiban buruh dan mana hak plus kewajiban pengusaha.
Dari sisi buruh, sistem
upah berbasis produktivitas akan membuat mereka lebih nyaman dan lebih pasti
dalam bekerja. Mereka yang produktif
akan diganjar imbalan lebih tinggi sementara yang tidak bakal lebih rendah.
Dilain pihak,sebagai negara-bangsa
Indonesia juga mesti membuat asumsi bahwa upah buruh rendah adalah
‘keunggulan”. Kini saatnya untuk memulai menata persepsi bahwa kualitas dan
produktivitas buruh adalah justru keunggulan itu.
Pemerintah dalam sistem
hubungan kerja di Indoensia seharusnya menjadi jembatan antara buruh dan pengusaha.
Artinya, di Pemerintahan Pusat maupun kebupaten/kota dan provinsi harus
mengawasi secara ketat pelaksanaan undang-undang dan semua regulasi perburuhan
yang ada serta memastikan tidak ada buruh yang menjadi korban praktek buruh
sejumlah perusahaan alih daya.
Apa pun, buruh dan
penusaha saling membuhtukan. Nilai tambah dan nilai lebih selayaknya dinikmati
bersama.
Dari sudut pandang itu,
pemerintah dituntut membuat kebijakan yang mendorong pengusaha membuat
pelatihan dan pendidikan yang meningkatkan keterampilan dan produktivitas
buruh. Dengan demikian, Indonesia akan mampu tumbuh berkelanjutan berbasis
perusahaan berdaya saing serta buruh yang sejahtera, bukan semata-mata berupah
(relative) tinggi.
Sumber: The Daily Jakarta Shimbin – Halo
Jepang (Editi Mei 2013/I)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar