Selasa, 04 Juni 2013

UPAH

UPAH
Apakah upah identik dengan kesejahteraan? Perdebatan tentang hal itu bisa meluas ke segala penjuru. Yang pasti, tuntuntan kaum buruh, dari tahun ke tahun, memang belum pernah beranjak jauh dari kata ‘kenaikan’.
Tahun ini, mungkin memang tahun yang spektakular berkaitan dengan kenaikan upah. Tak kurang dari 25 provinsi dan kabupaten/kota sepakat mendongkrak upah minum rata-rata 30%. Bahkan ada yang hingga 50%. Jakarta, misalnya, meningkatnya hingga 44%, sehingga upah minimum di ibukota menjadi R.2,2 juta.
Kenaikan yang lumayan drastis kali ini, tentu saja mulai meresahkan sejumlah penanam modal meski sungguh membuat serikat-serikat pekerja bersemangat, termasuk bersemangat turun ke jalan guna menuntut yang ‘lebih, dan lebih lagi’. Namun, sejatinya, tidak kurang dari 90% tenaga kerja di Indonesia adalah pekerja informal atau pekerja industri ‘kecil sekali’ alias ‘mikro’ dan tak terbagung dalam serikat pekerja manapun.
Ironisnya, justru mereka ini yang sering kali terlupakan oleh data resmi dan, dengan sendirinya oleh berbagai program peningkatan kesejahteraan pemerintah.
Seiring berjalannya waktu, kebijakan sektor perburuhan yang ada mungkin saja tidak lagi mampu merekam keresahan sosial mendatang. Kesenjangan pendapatan, misalnya, telah melebar di tingkat yang kabarnya paling cepat sejagad.
Indonesia, Jakarta khususnya, memang tengah menikmati pertumbuhan ekonomi amat mengesankan-bahkan konon termasuk yang paling mengesankan di seluruh Asia -- sehingga beberapa masalah mendarar, setidaknya untuk sementara, agak terlupakan.
Bagaimanapun, kecuali ada upaya yang sungguh-sungguh untuk mengurangi laju pelebaran kesenjangan ini secara seksama, di masa mendatang bisa jadi yagn ramairamai turun ke jalan adalah kelompok yang 90% tadi.
Sejatinya, memang teramat tbertumpuk pekerjaan rumah yang mesti diselesikan di Negara ini. Tetapi ini mungkin memang tahapan y ang harus dilalui banayk ngara – termasuk konon Jepang yang sekarang ada dalam katerogir Negara industry maj – bekaitan dengan relasi buruh-majikan. Dengan dmeikian mungkin kurang adil untuk hanya menyalahkan pemerintah sejamata karena setidaknya Presdian Susili Bambang Yudhoyono juga telah berencana menerbitakan Peraturan Pmeirntah (PP) tentan Sistem Pengusahan Nasional.
Benar bahwa PP itu – setikdanya di tahap awal – hanya akan menyentuh mereka yang bekerja dei sector formal. Namun, setidaknya arah yang dituj sudah benar. Dalam PP itu produktivitas buruh akan dimasukan sebagai salah satu basis penghitungan upah minumn di luar komponen kebutuhan hidup layak (KHL).
Faktor produktivitas dalam sistem penghitungan upah minimum merupakan langkah maju yang bukan hanya akan memberikan rasa adil bagi buruh, tapi juga bagi pengusaha. Komponen produktivitas akan menjadi garis yang jelas untuk memilah mana hak serta kewajiban buruh dan mana hak plus kewajiban pengusaha.
Dari sisi buruh, sistem upah berbasis produktivitas akan membuat mereka lebih nyaman dan lebih pasti dalam bekerja. Mereka  yang produktif akan diganjar imbalan lebih tinggi sementara yang tidak bakal lebih rendah.
Dilain pihak,sebagai negara-bangsa Indonesia juga mesti membuat asumsi bahwa upah buruh rendah adalah ‘keunggulan”. Kini saatnya untuk memulai menata persepsi bahwa kualitas dan produktivitas buruh adalah justru keunggulan itu.
Pemerintah dalam sistem hubungan kerja di Indoensia seharusnya menjadi jembatan antara buruh dan pengusaha. Artinya, di Pemerintahan Pusat maupun kebupaten/kota dan provinsi harus mengawasi secara ketat pelaksanaan undang-undang dan semua regulasi perburuhan yang ada serta memastikan tidak ada buruh yang menjadi korban praktek buruh sejumlah perusahaan alih daya.
Apa pun, buruh dan penusaha saling membuhtukan. Nilai tambah dan nilai lebih selayaknya dinikmati bersama.
Dari sudut pandang itu, pemerintah dituntut membuat kebijakan yang mendorong pengusaha membuat pelatihan dan pendidikan yang meningkatkan keterampilan dan produktivitas buruh. Dengan demikian, Indonesia akan mampu tumbuh berkelanjutan berbasis perusahaan berdaya saing serta buruh yang sejahtera, bukan semata-mata berupah (relative) tinggi.

Sumber: The Daily Jakarta Shimbin – Halo Jepang (Editi Mei 2013/I)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar